Gangguan pendengaran pada anak bukan sekedar masalah kesehatan tetapi mempunyai dampak yang berat karena menyangkut gangguan komunikasi, penyulit dalam pendidikan, gangguan kemampuan bersosialisasi dan merendahnya produktifitas ekonomi.
Data WHO mengenai angka gangguan pendengaran dan ketulian sungguh mengejutkan. Pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 275 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan setengahnya berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mempunyai prevalensi ketulian cukup tinggi yaitu 4,6%, dan angka ini meningkat terus akibat pelayanan kesehatan yang rendah dan akses ke pelayanan gangguan pendengaran terbatas.
Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994-1996) menunjukan morbiditas tinggi, penyakit telinga 18.5 %, prevalensi gangguan pendengaran 16,8 % sedangkan ketulian pada 0,4.% populasi dan paling tinggi di kelompok usia sekolah (7-18 tahun).
Selanjutnya data WHO menyebutkan bayi lahir tuli (tuli kongenital) berkisar 0,1-0,2% dengan risiko gangguan komunikasi dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan angka kelahiran di Indonesia sekitar 2,6% maka setiap tahunnya akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia. Bayi lahir tuli merupakan kelainan terberat, karena anak bisa belajar bicara melalui proses meniru kata-kata yang didengarnya. Jika tidak mendengar maka anak tidak bisa bicara dan berkomunikasi, selanjutnya tidak bisa belajar dan menjadi warga yang terbelakang.
Ancaman saat ini adalah bising di area publik seperti tempat hiburan anak di mal-mal dan pada remaja akibat pemakaian iPod berlebihan dengan risiko gangguan pendengaran dan mempercepat timbulnya tuli presbikusis yang biasa timbul pada orang tua umur 70 tahun menjadi timbul pada usia 40 tahun.
Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dibentuk Departemen Kesehatan RI berdasarkan SK.Menkes RI No. 768/Menkes/SK/VII/2007, telah mengetarai bahwa bising di tempat main anak di mal-mal bervolume tinggi sehingga diperkirakan bisa menyebabkan gangguan pendengaran pada anak-anak termasuk balita serta remaja yang sering memanfaatkan tempat main tersebut sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Komnas PGPKT mengukur nilai desibel dari kebisingan di berbagai tempat main anak di mal-mal beberapa kota di Indonesia.
Cara Pengukuran
Alat pengukur yang dipakai adalah alat Mini Sound Level Meters dengan spesifikasi Level Range antara 30-130 desibel (dB)
Tempat pengukuran adalah di dalam tempat main anak di sebelas tempat di Indonesia yaitu di Denpasar, Jakarta (3 tempat), Cikarang, Surabaya, Makassar, Padang, Palembang, Medan, Bandung, Sorong. Tiga tempat di Jakarta adalah dua mal di Jakarta Selatan dan satu mal di Jakarta Utara.
Hasil pengukuran didokumentasi dalam foto dan video.
Pengukuran dilaksanakan sejak Juli 2009 sampai dengan November 2010
Hasil Pengukuran
Semua tempat mempunyai nilai kebisingan yang diatas 90 dB. Bahkan ada beberapa tempat yang sudah mendekati 100 dB
Kesimpulan
Bising di tempat kerja yang sudah ada peraturannya yaitu dari Menaker (SK Menaker 1999), yang menyatakan bahwa ambang batas bising yang berbahaya menyebabkan ketulian adalah sebesar 85 dB, maka pekerja diharuskan memakai proteksi telinga seperti ear plug, ear muff dan lain-lain pada kebisingan senilai 85 dB dan diatasnya.
Jika tidak memakai alat proteksi telinga maka ada pembatasan lama pajanan perhari atau jam:
80 dB maksimal 24 jam, 82 dB maksimal 16, 85 dB maksimal 8 jam, 88 dB maksimal 4 jam, 91 dB maksimal 2 jam, 94 dB maksimal 1 jam, 97 dB maksimal 30 menit, 100 dB maksimal 15 menit
Dengan hasil terendah pengukuran sebesar 91,6 dB, maka anak hanya boleh bermain selama 2 jam, tetapi jika kebisingan mencapai 97 dB, maka anak hanya boleh bermain-main di tempat tersebut selama ½ jam saja yang tentunya tidak akan memuaskan bagi si anak.
Jenis ketulian yang terjadi adalah di frekuensi 4000 hertz sehingga awalnya tidak mengganggu dalam percakapan sehari-hari yang berada difrekuensi lebih rendah yaitu 250-500 dB. Selanjutnya akan terjadi penurunan pada semua frekuensi dan jika ini dirasakan, biasa berselang setelah 5-10 tahun, maka ketuliannya bersifat permanen dan tidak dapat diobati.
Tempat main anak di mal-mal ini memang sangat menarik, warna warni yang cerah dan segar serta mencolok mata, sangat menarik bagi anak-anak. Tidak heran jika tempat ini saat akhir minggu dipenuhi oleh balita, anak-anak dan remaja. Keberadaan tempat ini sebagai tempat hiburan bagi anak-anak dan remaja harus disokong tetapi tentu harus diberi rambu-rambu berupa peraturan pemerintah untuk mengendalikan bising di tempat tersebut.
Diharapkan pemerintah segera mengetahui dan membuat regulasi yang bersifat melindungi masyarakat terutama yang masih balita, anak-anak dan remaja dari bahaya bising yang dapat menyebabkan ketulian.