======= SELAMAT DATANG KOMNAS PGPKT !!! =======
Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian

Kamis, 28 Februari 2013

WUJUDKAN KOTA MINIM BISING




Oleh Yan Edwin Bunde

KSM THT-KL - RS Immanuel Bandung/FK-Maranatha


Tahun yang baru telah kita tapaki bersama dan setiap individu bahkan instansi dan para pemimpin tentunya mempunyai resolusi ditahun yang baru ini. Berbagai bentuk resolusi dapat diutarakan atau diniatkan didalam hati maupun dipaparkan secara terbuka. Namun adakah yang mempunyai resolusi untuk hal yang satu ini, yaitu mewujudkan kota yang minim bising? Kenapa kota yang dipenuhi oleh kebisingan akan menjadi hal yang dihindari? Apakah dampak buruk bagi masyarakat yang menghuninya pada kota yang sarat kebisingan? Tentu resolusi “yang kurang lazim” ini bukan hal yang sulit sekali dilakukan, tinggal bagaimana mau berniat dan berpartisipasi oleh tiap warga dan terutama para pemangku kepentingan ditiap daerah untuk mengejawantahkan hal ini.

Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa manusia membutuhkan suatu kondisi yang nyaman dalam dihidupnya. Kondisi tersebut salah satunya bisa dicapai dengan keadaan dimana tingkat kebisingan suara minimal dan dalam batasan yang aman bagi kesehatan manusia. Tidak heran jika setiap kesempatan liburan, banyak orang yang mencari tempat yang lebih terpencil jauh dari keramaian kota, semata untuk mencari keheningan dan tenang. Karena aspek positif dari tempat yang tidak bising adalah memberi suasana hati yang baik, damai; dan baik bagi kesehatan indera pendengaran.

Pada dekade terakhir ini, tingkat kebisingan meningkat pesat diberbagai kota diseluruh dunia termasuk kota-kota di negara-negara di asia tenggara termasuk ibu kota negara kita dan kota-kota lainnya. Peningkatan populasi penduduk yang begitu tinggi serta perkembangan modernitas berupa mesin dan teknologi memberikan sumbangsih peningkatan kebisingan sebagai polutan daerah perkotaan. Akumulasi efek kebisingan yang bersumber dari keramaian lalulintas, pabrik, disekitar bandara, peralatan audio, telepon gengam, kegiatan rekreasi dengan peralatan yang mengeluarkan suara keras dan lain sebagainya; memberikan suara yang tidak dikehendaki yang dapat menganggu kesehatan, meningkat drastis.

Bising yang terus menerus mendera seorang individu dapat berdampak pada gangguan pendengaran sehingga dapat menyebabkan ketulian syaraf yang bersifat permanen, sehingga pencegahan adalah upaya yang terbaik. Ketulian akan sangat besar dampaknya terhadap kualitas hidup seorang manusia dan menurunkan sumber daya manusia yang baik bagi dirinya, keluarga dan masyarakatnya. Batasan tingkat intensitas yang dijinkan adalah 80 dB, karena lebih dari itu akan mempengaruhi organ pendengaran manusia. Tentu sebagai bangsa yang besar, kita tidak ingin generasi kita pada 20-30 tahun akan datang mengalami penurunan pendengaran lebih cepat dari waktu usia biologis kita secara umum karena proses degeneratif. Tentu keadaan itu sangat tidak kita harapkan karena berdampak sangat luas bagi masyarakat kita.

Batasan intensitas bunyi dan batasan lama paparan yaitu Intensitas bunyi  85 dB (decibel) hanya boleh untuk waktu keterpaparan selama 8 jam, intensitas bunyi 88 dB untuk waktu 4 jam, intensitas bunyi 91dB untuk waktu 2 jam, intensitas bunyi 94 dB untuk waktu 1 jam, intensitas bunyi 97dB untuk waktu 30 menit, dan intensitas bunyi 100dB untuk waktu 15 menit. Sebagai perbandingan, intensitas bunyi saat kita bercakap-cakap sebesar 40-50 dB, bunyi telepon berdering atau mesin motor dihidupkan sekitar 80-85  dB, bunyi truk sebesar 90 dB, pengeboran jalan sekitar 115 dB, bunyi pesawat jet take off sekitar 120-130 dB.

Bising bukan saja menyebabkan gangguan pendengaran tapi dari berbagai penelitian dikatakan disuatu kota misalnya oleh karena keramaian lalulintas, juga mempunyai dampak pada kualitas hidup seseorang dan berdampak pada kesehatan dalam jangka pendek; gangguan psikis, gangguan tidur dan peningkatan pelepasan hormon stres  sedangkan  dampak kesehatan jangka panjang; gangguan konsentrasi dan kognitif, tekanan darah tinggi bahkan serangan jantung.
            Badan kesehatan dunia WHO mendefenisikan kesehatan adalah kondisi baik yang optimal pada seorang individu baik secara fisik, mental dan sosial dan bukan hanya bahwa ia tidak mempunyai penyakit atau kelemahan. Karena itu suatu kondisi dengan lingkungan bising yang tinggi dapat diperhitungkan sebagai kondisi yang mengganggu kesehatan, dimana bising sebagai polutan.

Undang Undang R.I. No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Bahwa Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Masih dari undang undang ini pada Pasal 6 tercantum: Setiap orang berhak mendapat lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Jelas bahwa kita sebagai warga negara oleh pemerintah diberi hak  untuk bebas dari lingkungan yang berpolutan bising. Dan sebagai individu dalam masyarakat, kita pun diminta untuk berperilaku sehat (Pasal 11), artinya kita haruslah menghindari bising demi kesehatan kita pribadi. Lalu sangat jelas diinstruksikan dalam undang undang kesehatan tersebut agar kita menghormati hak orang lain dalam memperoleh lingkungan yang sehat baik fisik, biologi maupun sosial (Pasal 10).  Tentu kita harus bertenggang rasa, dalam arti kongkrit, jika dari pihak kita, rumah kita, industri kita, kendaraan kita atau sikap dan perilaku kita tersebut menghasilkan bising yang berdampak negatif bagi orang lain maka itu harus kita reduksi bahkan eliminasi. Tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kondisi yang menciptakan peningkatan derajat kesehatan yang baik bagi rakyatnya tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang No 36/2010 tentang kesehatan yang berbunyi: “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya.” Tanggung jawab ini termasuk menghindarkan masyarakat dari dampak buruk kebisingan di dalam kota.

Bagaimana dengan kota kita yang kini kita diami, apakah sudah menjadi kota yang minim bising, sehingga nyaman dihuni serta aman dari dampak buruk bagi kesehatan kita?  Beberapa bulan lalu, penulis bersama beberapa mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Maranatha melakukan survei sederhana dengan mengunakan sound level meter, mencermati tingkat kebisingan dibeberapa tempat di kota Bandung. Diperoleh level kebisingan yang masih tinggi seperti di ruas jalan utama di kota ini seperti di jalan merdeka pukul 21.30 sebesar 92,7 dB, jalan Braga pada pukul 21.50 sebesar 91,2 dB, di perempatan jalan Pasteur-Surya Sumantri pada pukul 15.56 sebesar 92,1 dB, lalu di Terminal Leuwi Panjang pada pukul 12.45 sebesar 93,5 dB; disekitar rel kereta api saat kereta melintas sebesar 126,3 dB, belum lagi di beberapa kompleks pemukiman diperoleh rerata tingkat kebisingan masih berada diatas 70 dB pada sekitar pukul 21.30. Sebagai perbandingan, aturan yang akan ditetapkan di Uni Eropa yaitu tingkat kebisingan di kompleks pemukiman pada saat jam tidur maksimal 40 dB.  Maka bukan saja kota Bandung, tetapi hampir semua kota-kota besar mengalami hal yang sama yaitu dimana level kebisingan sudah harus menjadi perhatian bersama dalam hal penanggulangan dampak buruknya.

Namun seperti yang pernah menjadi pernyataan WHO di Jenewa 28-30 Oktober 1997 tentang Prevention of Noise Induced Hearing Loss bahwa pada negara-negara berkembang mempunyai kekurangan dalam hal regulasi dan program yang berkaitan dengan pencengahan ketulian akibat bising, kalaupun ada maka aspek implementasi dan pelaksanaan aturan tersebut dengan ketat, yang kurang. Tentu seperti diamanatkan dalam undang undang, maka pemerintah haruslah membuktikan bahwa di Indonesia, pernyataan WHO tersebut bisa tak berlaku. Pemerintah haruslah benar benar mengiplementasikan sekaligus mengawasi dan menegakkan peraturan-peraturan terkait yang sudah ada beserta konsekuensinya tanpa pandang bulu, karena yang menjadi taruhan adalah masa depan bangsa. Program nasional untuk mencegah gangguan ketulian karena bising harus dicanangkan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, terpadu, berkesinambungan dan merata dimuka bumi pertiwi ini. Pelayanan kesehatan primer harus memasukan masalah bising dalam aspek pelayanannya. Pendidikan disekolah baik secara formal maupun nonformal perlu memasukkan pengajaran tentang bahaya bising bagi anak didiknya. Regulasi yang nyata yang berpihak pada kesehatan individu harus benar-benar diterapkan seperti perlindungan masyarakat akan bising di sarana publik. Dipikirkan aturan pemerintah agar tiap gedung dan sarana publik dalam pembangunannya harus sejak awal berorientasi perlindungan dari dampak bising. Pakar pakar akustik dan kesehatan masyarakat perlu dimintai pendapatnya. Demikian pula segala kendaraan, alat transportasi harus ditera tingkat kebisingan yang ditimbulkannya. Intinya adalah semua berorietasi kepada kepentingan kesehatan masyarakat. Terakhir adalah partisipasi aktif dari setiap anggota masyarakat untuk menyadari dampak buruk bising dan berupaya mengurangi kebisingan dari hal-hal yang bisa dia kendalikan untuk mengurangi kebisingan. Setiap warga masyarakat harus memberi kesempatan orang lain mendapatkan lingkungan yang bebas bising. Jangan katakan bahwa masalah dampak buruk bising bagi kesehatan individu yang berdiam di suatu kota bukanlah hal yang urgent, tapi mari sadari bersama hal yang samar tapi jelas berbahaya ini.

Apakah para pemangku kepentingan di kota-kota di tanah air ini sudah menjadikan Less Noise City sebagai salah satu program kerja dibidang kesehatan yang dicanangkannnya? Kita menilai sendiri kondisi terkini yang kita alami, dan berharap semoga regulasi yang terkait yang menunjang agar keterbebasan dari bising itu memayungi kita dan program-program nyata yang mengeliminasi peningkatan drastis kebisingan bisa dijawantahkan. Semoga para calon pemimpin daerah yang akan menjadi pemimpin juga memperhatikan hal ini dan memasukkan hal ini sebagai program kerja nyata mereka bagi masyarakat yang kelak mereka pimpin.

Marilah kita semua, elemen bangsa tercinta ini agar menumbuh-kembangkan kesadaran dan pemahaman akan bahaya bising. Kita mulai sejak dini dari pribadi kita sendiri yang kita tularkan ke keluarga kita lalu lingkungan sekitar kita. Karena bahaya yang mengancam bukan hanya pada diri kita saja tetapi masyarakat banyak termasuk kualitas hidup bangsa kita dimasa datang. Tidak ada kata terlambat, dan upaya itu walau mungkin kecil cakupannya namun jika dilakukan oleh tiap-tiap kita anggota masyarakat, perlahan tapi pasti akan berfaedah dan berdaya guna. Mari kita mulai dari kota kita, kita jadikan kota kita sebagai Less Noise City and make the city sound better.