======= SELAMAT DATANG KOMNAS PGPKT !!! =======
Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian

Jumat, 08 November 2013

Syukurlah Bayiku NORMAL Pendengarannya

dr. Yan Edwin Bunde, Sp.THT

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung & Tenggorok - RS. Immanuel, Bandung

Tentu sepenggal kalimat diatas pasti menjadi harapan setiap orang tua, namun apakah itu hal ini disadari olah tiap pasangan yang berbahagia tersebut? Perhatianorang tua pada saat melihat buah hatinya pertama kali adalah menilai secara fisik apakah tidak ada kelainan pada sang bayi. Pendengaran bersifat objektif dan abstrak sehingga hal ini kadang terlewatkan untuk dipastikan berfungsi dengan baik atau adakelainan. Padahal akibat dari keterlambatan diketahuinya adanya gangguan pendengaran pada bayi berimbas pada terlambatnya upaya penanganan gangguan tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup seorang individu tersebut.
Mengapa kita perlu mencari tahu secara dini adanya ketulian pada bayi baru lahir? Data WHO memperkirakan terdapat satu dari tiap 1000 kelahiran dengan tuli berat dan lima dari tiap 1000 kelahiran dengantuli lebih ringan. Di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di tujuh provinsi pada tahun 1994 – 1996 yaitu sebesar 0,1 % populasi penduduk. Persentasi tersebut tentu sangat tinggi dan jika kondisi ini TERLAMBAT ditemukan, menyebabkan gangguan permanen dari berbagai aspek.

Dampak merugikan harus dibatasi sehingga diperlukan deteksi dini ketulian tiap bayi baru lahir. Perkembangan berbahasa terjadi di tahun pertama kehidupan seorang bayi dengan proses mendengar yang baik sebagai fasilitator utama. Jika Input auditorius tidak adekuat selama periode penting itu berakibat :
• Menyebabkan gangguan perkembangan kemampuan berkomunikasi dan membaca.
• Berdampakburuk pada proses belajar.
• Berpengaruh pada integrasi sosial/bermasyarakat.
• Memiliki SDM dan produktifitas kerja yang minim.
Selanjutnya dampak finansial bagi orang tua yaitu biaya pendidikan satu anak yang berkebutuhan khusus diperkirakan mencapai 4 kali biaya pendidikan anak normal.

Menemukan kasus gangguan pendengaran/ketulian sedini mungkin sehingga segera dapat dilakukan habilitasi pendengaran agar dampak cacat dengarbisa diatasi. Oleh karena itu diperlukan suatu program secara nasionalyang di negara maju disebut EHDI program (early hearing detection andintervention program). Dengan program ini diharapkan agar anak dengan gangguan pendengaran bisa memiliki kompetensi berkomunikasi yang baik, berkemampuan sosialisasi luas dan membangun kepercayaan diri yang positif dan memperbesar kesempatan anak berkebutuhan khusus ini untuk sekolah secara formal.

Untuk menemukan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir, saat ini digunakan OAE (Otoacoustic Emission) dan AABR (AutomatedAuditory Brainstem Response) yang merupakan tehnik pemeriksaan baku emas dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%. Untuk itu terdapat dua klasifikasiyang sering digunakan dalam melakukan deteksi dini ketulian yaitu Klasifikasi Targeted Newborn Hearing Screening (TNHS) yaitu deteksi dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai faktor resiko terhadap ketulian, dimana faktor-faktor ketulian menurut American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994) pada bayi usia 0-28 hari:

• Riwayat keluarga tuli sejak lahir
• Infeksi prenatal; TORCH
• Kelainan anatomi pada kepala dan leher
• Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
• Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )
• Meningitis bakterialis
• Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
• Asfiksia berat
• Pemberian obat ototoksik
• Menggunakan alat bantu pernapasan/ ventilasimekanik lebih dari 5 hari di NICU
Klasifikasi kedua adalah Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) yaitu deteksi dilakukan pada semua bayi baru lahir baik beresiko maupun tidak, sebelum bayi meninggalkan rumah sakit.

Di beberapa negara berkembang masih menggunakan deteksi dengan klasifikasi pertama karena masalah keterbatasan tenaga medis dan ketersediaan alat namun idealnya adalah dengan klasifikasi kedua. Data penelitian mengungkapkan 50% bayi dengan gangguan pendengaran ternyata tidak memiliki faktor resiko seperti pada klasifikasi TNHS.Agar tidak kecolongan maka suatu kebijaksaan kesehatan nasional perlu mengadaptasi klasifikasi UNHS. Direkomendasikan deteksi ini dilakukan pada setiap bayi baru lahir setelah 12 jam pertama kelahiran dan sudah harus selesai dilakukan sebelum keluar rumah sakit bagi bayi yang lahir di rumah sakit, sedangkan yang lahir tidak dirumah sakit, harus dilakukan deteksi ketulian sebelum umur 1 bulan. Pada usia 3 bulan, bayi harus dapat dipastikan memiliki pendengaran yang normal atau tidak dan maksimal usia 6 bulan, tindakan intervensi untuk mengatasi masalah ganggguan pendengaran sudah harus dilakukan.Intervensi masalah pendengaran bisa dengan pemberian alat bantu dengar atau operasi implan rumah siput disertai habilitasi pendengaran pelatihan lainnya. Oleh sebab itu langkah awal berupa program semacam EHDI harus dijadikan standar medis di tiap rumah sakit di negara kita.

Namun praktek dilapangan kadang mengalami hambatan dari faktor penerimaan dan Kesadaran dari orang tua sang bayi. Beberapa alasan orang tua menolak program EHDI biasa dijumpai alasan-alasan sebagai berikut :
• Bayi saya bisa mendengar kok.
• Takut menerima kenyataan jika bayinya ada kelainan.
• Keluarga saya tidak ada yang tuli.
• Orang tua akan memonitor sendiri.
• Keluar biaya ekstra lagi untuk pemeriksaan tersebut.
• Nanti tunggu anak lebih besar lagi.
• Tidak ada waktu untuk ikuti prosedur pemeriksaan.
Karena itu perlu kerja sama dari bagian lain seperti bagian Pediatrik dan Kebidanan serta edukasi dan konseling yang baik bagi orang tua bayi baru lahir.

Diperlukan Kebijaksanaan kesehatan nasional untuk melakukan program ini secara berkesinambungan dan merata diseluruh tanah air. Karena arti penting dari kegiatan ini yang terkait erat dengan sumbe daya manusia generasi penerus bangsa yang berkualitas. Melakukan Edukasi publik terkait arti penting kegiatan ini perlu disosialisasikan oleh pihak pemerintah maupun swasta seperti membuat iklan layanan kesehatan dan pelatihan tenaga medis terkait. Peran serta setiap stake holders terkait terutama kalangan medis lini terdepan seperti kader posyandu, ibu PKK, tenaga medis di Puskesmas, petugas balai kesehatan, bahkan dukun beranak dan semua petugas pemerintahan lini terdepan perlu dilibatkan. Perlu sekali lagi dicamkan bahwa masalah keterlambatan penanganan gangguan pendengaran pada bayi bukan saja membawa kerugian bagi individu bersangkutan dan keluarganya namun masyarakat luas dan bangsa ini akan mengalami dampaknya. Jauh lebih baik mencegah dari pada mengobati, ujar-ujaran lama ini masih tetap eksis dan berdaya guna. Semoga semua orang tua yang berbahagia menerima kehadiran permata hatinya yang baru lahir bisa berkata dengan mantap: “ Syukurlah, bayi kami pendengarannya normal.”